Friday 25 March 2011

Apa Kabar PLTA Peusangan?

Pembangunan PLTA Peusangan, salah satu harapan masyarakat Aceh mengatasi krisis listrik di Aceh. Pernyataan sekarang bagaimana perkembangan proyek raksasa tersebut?

Salah satu penyebab rendahnya investasi di Aceh karena daerah itu kekurangan daya listrik. Para calon investor yang sudah menandatangani MoU terpaksa mengalihkan usahanya ke daerah lain lantaran terkendala listrik. Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang mengalami krisis listrik sejak lama.

Menyadari hal ini Pemerintah Aceh mengenjot pembangunan intalisasi listrik. Pembangunan PLTA Peusangan di Takengon, Aceh Tengah, yang berkapasitas 86 MW, direncanakan dibangun di Kecamatan Laut Tawar, Kecamatan Silih Nara dan Kecamatan Celala, Aceh Tengah. PLTA tersebut direncanakan menghasilkan daya listrik sebesar 86,4 MW Listriknya akan disalurkan melalui Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 V ke Gardu Induk di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah dan ke Gardu Induk di Bireuen,

Jaringan transmisi tersebut diperkirakan sepanjang 76 km dan akan melewati kawasan lindung di luar kawasan hutan, kawasan pertanian, pemukiman, perkebunan di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen.

Kehadiran PLTA Peusangan 1 dan 2 yang pembangunannya menelan biaya sekitar Rp 3 triliun diharapkan bisa mengatasi krisis listrik yang dialami warga Aceh. Dengan kapasitas 86 MW, PLTA Peusangan mampu memasok energi listrik untuk seluruh Provinsi Aceh.

PLTA Peusangan 1 dan 2 nantinya akan menggunakan air Danau Laut Tawar sebagai sumber penggerak turbin. Selama ini, air yang mengalir dari danau itu lebih banyak digunakan untuk kebutuhan proyek - proyek vital di Aceh Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer.
Sebelumnya, proyek PLTA Peusangan 1 dan 2, tertunda beberapa tahun karena situasi konflik yang melanda Aceh. Saat itu, Karena proyek itu belum dikerjakan, masyarakat di sepanjang krueng Peusangan memanfaatkan aliran sungai sebagai lokasi budidaya ikan air tawar dengan mendirikan keramba.

Dampak dari pembangunan proyek itu, ratusan keramba (jaring tancap) milik warga di sepanjang krueng (sungai) Peusangan akan tergusur. Jumlah keramba di sepanjang Krueng Peusangan, mulai dari hulu sungai hingga Kampung Angkup Kecamatan Silih Nara mencapai 400 ratus unit lebih. Keramba-keramba itu dimanfaatkan warga sebagai lokasi budidaya ikan air tawar seperti ikan mujahir, ikan mas, dan sejumlah ikan air tawar lainnya.

Besarnya harapan yang digantungkan kepada PLTA Peusangan bukanya tanpa masalah. Ada semacam kekhawatiran dengan hadirnya Plta Peusangan akan merusak lingkungan. Menurut JBIC, “Proyek Pembangunan PLTA Peusangan dan Jaringan Transmisi” dikategorikan sebagai Kategori A. Itu berarti proyek ini kemungkinan membawa dampak besar negatif.

Proyek yang dikategorikan A, JBIC sendiri harus mengumumkan laporan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sesuai “Panduan JBIC mengenai Pertimbangan Sosial dan Lingkungan Hidup (April 2002)”. Di Indonesia AMDAL terdiri dari analisis dampak lingkungan (ANDAL), rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL).

Menurut laporan “ANDAL PLTA Peusangan” dan laporan “ANDAL Pembangunan Jaringan Transmisi 150 KV GI Takengon ke PLTA Peusangan 1&2-GI Bireuen”, diperkirakan ada beberapa dampak negatif yang besar, termasuk masalah pembebasan tanah. Untuk prasarana konstruksi Proyek PLTA Peusangan 1&2, lahan seluas 236,8 ha harus dibebaskan. Dari lahan seluas 236,8 ha, hanya lahan seluas 200 ha yang sudah dibebaskan. Di atas lahan tersebut terdapat beberapa fasilitas umum seperti SMP (1 unit), SD (2 unit), TK (1 unit) dan meunasah (2 unit) dan fasilitas umum tersebut sudah dipindahkan.

Lahan seluas 36,8 ha akan dibebaskan kemudian. Untuk proyek Jaringan Transmisi, 6,37 ha perlu dibebaskan. Menggarisbawahi bahwa PLTA Peusangan 1&2 akan membuat efek negatif yang lebih besar daripada efek positifnya, sesuai dengan penerbitan Katagori A oleh JBIC yang berarti PLTA Peusangan akan menimbulkan tingkat dampak negatif yang besar.

Meskipun data tersebut, tidak mencantumkan efek dari perubahan bentang alam yang berpotensi mengancam kelestarian ribuan biota asli danau/sungai, seperti degradasi ekosistem danau Laut Tawar dan DAS Krueng Peusangan; degradasi lahan sawah, pertanian dan perkebunan masyarakat; debit sungai/danau menjadi menyusut sehingga mengkhawatirkan akan ketersediaan air bagi masyarakat setempat; hingga terjadinya perubahan pranata sosial, kehilangan mata pencaharian masyarakat akibat pembongkaran tanah/keramba. Itu belum termasuk, perkiraan jumlah minus karbon dari kawasan danau Laut Tawar dan DAS krueng Peusangan jika PLTA ini jadi dibangun kata Yasuyuki dari JBIC.

Masalah lain yang tidak kalah pelik adalah, ganti rugi usaha keramba-keramba di sepanjang Sungai Peusangan. keramba-keramba milik warga itu dipastikan akan dibongkar sehingga aliran Sungai Peusangan yang selama ini ‘dihiasi’ dengan jejeran ratusan keramba milik warga akan berganti dengan pembangunan proyek raksasa tersebut.

Pemilik keramba mengatakan hingga saat ini proses ganti rugi itu belum jelas,“ kejelasan Kapan dimulai proyeknya itu, belum diketahui,” kata Bambang salah seorang pemilik keramba. Dikatakan, pendirian keramba di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan sudah dimulai sejak sepuluh tahun lalu, Dengan adanya keramba-keramba itu, sedikit banyak telah membantu sejumlah warga dengan memelihara ikan air tawar sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga. “Kalau memang harus dibongkar, nggak jadi masalah, karena memang untuk kepentingan yang lebih besar, meskipun ada sebagian warga disini menjadikan keramba sebagai usaha utama mereka,” ujar Bambang.

Ramlan, ketua Asosiasi Permerhati dan Desa di Kabupaten Aceh Tengah mengatakan hingga saat ini lahan yang sudah dibebas adalah 70 persen, lahan ini sudah dibebaskan sejak lama, sedangkan untuk pembebasan Keramba-keramba belum satupun dilakukan.

Ironisnya, Kejelasan tentang proses ganti rugi dari Pemkab Aceh Tengah juga tidak begitu jelas. Bagaimanakah harga Ganti Rugi atau Ganti Usaha setiap keramba juga belum diketahui. Ramlan mengatakan seharusnya Pemkab Aceh Tengah, memperjelas hal ini agar tidak ada masalah dikemudian hari” Kita mengharapkan jangan sampai ada oknum-oknum dari Pemkab Aceh Tengah yang memamfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi dan menghambat proyek ini” kata Ramlan.

Begitu juga untuk masalah Tenaga kerja nantinya kata Ramlan, sudah seharusnya ada semacam proritas kepada pribumi” Dalam artian sesuai dengan keahlian masing-masing, bagaimanapun dengan adanya proritas akan menumbuhkan rasa memiliki di diri masyarakat pribumi” jelas Ramlan lagi.

Saat ini, kegiatan yang ada di proyek PLTA Peusangan, masih sebatas pekerjaan pisik dan rehabilitasi bangunan yang sudah ada sebelumnya diluar pemasangan intalisasi” Belum ada karyawan, yang ada buruh-buruh kasar yang merupakan tenaga lepas dengan jumlah 150 orang” kata Ramlan.

Ia menghimbau kepada masyarakat luas, jangan percaya kepada oknum-oknum yang mengaku bisa memasukan karyawan ke PLTA Peusangan. Belakangan ada isu yang berhembus kalau PLTA Peusangan sudah membuka lowongan untuk karyawan” Semua itu tidak benar, kita masih menunggu keputusan dari pihak PLTA Puesangan, masih ada proses panjang yang dilakukan termasuk keputusan dari Dinas Tenaga Kerja setempat” jelas Ramlan lagi.

Jika melihat fakta yang seperti yang ditulis oleh Rahmat RA, di Harian Aceh, Saat ini, listrik di Aceh masih sangat tergantung dengan Sumut. Betapa tidak, 70 persen kebutuhan listrik di Aceh dipasok dari sana. Selain itu, defisitnya arus listrik di Sumatera Utara yang disuplai melalui PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Belawan, dan PLTA Maninjau di Medan, selain mendapat suplai dari PLTD Lueng Bata, Banda Aceh.

Krisis listrik di PT PLN Pembangkit listrik dalam sistem Sumut-Aceh atau Sumbagut berimbas pada penyuplaian arus listrik ke Aceh. Apalagi permintaan pelanggan yang terus meningkat terhadap energi listrik ini mengakibatkan semakin tak mencukupi.

Tahun 1997 PT PLN Pembangkit Sumbagut mampu menghasilkan energi sebesar 900 MegaWatt (MW), sementara kebutuhan pelanggan saat itu hanya 535 MW. Tahun 2008 permintaan pelanggan meningkat menjadi 1.090 MW, sedangkan kemampuan pembangkit hanya 950 MW yang dipasok untuk seluruh Sumatera Utara dan Aceh. Sementara itu kian hari pelanggan makin bertambah.

Saat ini pemakaian puncak di Aceh mencapai 232 MW, sedangkan suplai arus dari sistem isolated tetap 63 MW. Agar listrik di Aceh kembali normal seharusnya pasokan listrik dari Sumatera Utara sebesar 169 MW. Namun karena ada kerusakan dan perbaikan mesin, serta kemampuan pembangkit untuk menghasilkan energi listrik relatif rendah yang berakibat defisitnya arus listrik di PLN Sumut, suplai arus listrik ke Aceh terpaksa dikurangi sebesar 8 MW/perhari.

Usaha mengatasi krisis listrik oleh PT PLN Wilayah Sumbagut ini pun terkendala karena PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) yang diharapkan dapat membantu menyuplai kekurangan arus tak dapat berkutik disebabkan permukaan air Danau Toba terus menyurut, sumber energi listrik mereka pun melemah, akibatnya produksi energi listrik ikut menurun.

Ketergantungan pasokan listrik bagi wilayah di Aceh melalui jaringan interkoneksi Sumatera Utara (Sumut) belum juga bisa ditanggulangi. Kenyataan ini sangat ironis jika ditilik dari sumber energi yang melimpah di perut bumi Aceh. Sejatinya—kalau bisa dimanfaatkan—tidak hanya untuk mencukupi energi listrik di wilayah Aceh, bahkan bisa mencukupi seluruh pulau Sumatera.

Data sumber daya energi Aceh dilaporkan, dalam perut bumi Aceh terdapat kandungan energi panas bumi (geothermal) dan air (hydropower) cukup besar. Cadangan energi panas bumi di Gunung Seulawah dan Krueng Raya, Aceh Besar, masing-masing sebesar 250 mega watt (MW), Gunung Jaboi di Pulau Weh 74,14 MW, dan Gayo Lasten, Aceh Tengah, sebesar 589,42 MW.

Sementara sumber energi hydropower terdapat di sejumlah sungai di Aceh. Di antaranya di Krueng Aceh (5,20 MW), Krueng Teunom (41,10 MW), Krueng Leumih (7,70 MW), Krueng Meureudu (62,60 MW), Krueng Jambo Aye (471,90 MW), Krueng Ramasan (101,80 MW). Krueng Peureulak (20,80 MW), Kreung Tampur-Tamiang (126,90 MW), Krueng Biadin (98,60 MW), Krueng Peusangan (88,90 MW), Danau Laut Tawar/Bidin (73,30 MW), Danau Laut Tawar/Jambo Air (41,90 MW), Krueng Pantan Dedalu (7,90 MW), Lawe Alas (268,10 MW), dan Lawe Mamas (65,80 MW).

Kalau ditilik lebih jauh lagi, Aceh juga memiliki potensi batu bara yang cukup besar. Di Kecamatan Meurebo dan Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, diperkirakan memiliki batu bara sebesar 571 juta ton dan cadangan hipotesis batu bara lebih kurang 1,7 miliar ton. Ditambah lagi cadangan minyak bumi di Aceh sebesar 94,473 million stock tank barrel (MSTB) di sepanjang pantai utara dan timur—daratan seluas 8.225,19 km2 dan di lepas pantai Selat Malaka 38.122,68 km2—dan memiliki cadangan gas bumi sebesar 10,3787 billion standar cubic feet (BSCF).

Sepertinya impian masyarakat tidak ada lagi pemadaman lampu masih jauh panggang dari api. Angin surga yang di hembuskan oleh Pemerintah, tahun 2012 tahun 2012 Aceh akan menjadi daerah lumbung energi listrik masih jauh dari harapan, ada kesan kurangnya keseriusan pemerintah terutama Pemda Aceh Tengah dan tentu saja pemerintah Aceh untuk mengenjot hal ini.

Proyek pembangunan PLTA Peusangan yang berkapasitas 86 MW tersebut sendiri, saat ini masih dalam proses tender yang diikuti oleh dua perusahaan dari Jepang dan Korea. “Pemenang tender akan diumumkan akhir tahun ini. kata Direktur Utama (Dirut) PT PLN Dahlan Iskan menjawab wartawan ketika meninjau Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung, di Punge Blangcut.

Ramlan mengatakan, dalam untuk mendukung proyek PLTA Peusangan, seharusnya harus ada inisiatif dari pihak-pihak terkait untuk melibatkan berbagai element masyarakat, tokoh masyarakat setempat, LSM dan Media serta pihak lain yang terkait untuk melakukan pengawasan agar proyek ini berhasil”

"Bagaimanapun, kita tentunya sangat bersyukur dengan adanya investor yang masuk ke Aceh, selain memberikan PAD bagi daerah dan menampung tenaga kerja juga mengatasi krisis energi listrik di Aceh, nah sekarang tinggal menjaga kepercayaan tersebut dengan take and give (menerima dan memberi) dalam hal ini, agar tidak satu pihakpun yang dirugikan” jelas Ramlan.

Masyarakat tentu saja berharap angin surga tersebut akan menjadi kenyataan, tidak semudah membalikan telapak tangan memang untuk membenahi pasokan energi listrik di Aceh, namun bagaimanapun pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam hal ini. Terlepas dari itu semua hanyalah waktu yang bisa menjawab keseriusan Pemerintah dalam hal ini. (Arsadi Laksamana).

Thursday 24 March 2011

Masam Jing oh Masam Jing



Setelah sekian lama saya berada diperantauan, berkutat dengan bermcam kegiatan yang terkadang bersifat monoton yang membuat sedikit jenuh untuk terus berada dalam lingkungan yang sedang kujalani tersebut. Akhirnya kesempatan untuk berlibur kudapatkan juga yang pasti terfikir dibenak pertama sekali adalah mudik, bahkan dalam waktu-waktu ini kurasakan sepertinya dunia berputar semakin lambat, bahkan jarum jam dinding bergerak semakin lama dari biasanya. Kerinduan akan sanak famili semakin begitu kuat mendorong dari dalam jiwa terutama makanan istimewanya yang memang sudah sangat lama tidak menari diatas lidah. Perjalanan pulang kampung saya kali ini memang sengaja saya niatkan mencari makanan khas yang enak yang sudah lama tidak saya rasakan.

Dari sebuah bandara internasional negara tetangga saya lasung menuju ke Bandara Polonia Medan, lalu dilanjutkan dengan perjalanan naik bus antar provinsi langsung menuju Takengon Aceh Tengah. Jarak tempuh Medan - Takengon kurang lebih 10 jam. Awalnya saya berkeinginan melakukan perjalanan siang dengan harapan dapat menikmati panorama alam disepanjang perjalanan saya, tetapi karena bus yang tersedia hanya melakukan perjalan diwaktu malam, maka saya memutuskan untuk beristirahat saja didalam bus.

Kira-kira menjelang jam 6 pagi akhirnya sampai juga di terminal kota Takengon, udara segar dan hawa sejuknya terasa menggigit tulang kurasakan melebihi sejuknya udara yang dikeluarkan oleh airconditioner bus. Kabut masih menyelimuti kota kecil dataran tinggi ini yang perlahan-lahan pergi seiring dengan tersenyumnya mentari pagi. Sambil memandang sekeliling,pertama sekali terlihat adalah sebuah warung kecil yang menyediakan sarapan pagi. Dikarenakan dinginnya cuaca saya Cuma berfikir untuk menikmati secangkir kopi arabika asli daerah ini, yang konon katanya rasanya melebihi kopi starbuck yang terkenal itu. Sambil menunggu racikan kopi istimewa yang saya pesan selesai, aroma pulut panggang sudah kembali menggugah rasa lapar...hmmm secangkir kopi plus pulut panggang nikmat juga.

Pulut panggang  merupakan makanan ringan masyarakat Aceh yang biasa disajikan dengan kopi atau teh, yang dibuat dari beras ketan dicampur dengan santan dari kelapa yang telah tua. Pulut panggang dibungkus menggunakan daun pisang lalu dipanggang dibara dengan suhu yang teratur hingga matang. Sebelum dipanggang diatas bara, pulut terlebih dulu dukukus hingga setengah matang baru di panggang. Rasa pulut manis dan gurih ditambah harum bau daun pisang, biasa dimakan begitu saja atau dimakan dengan sri kaya atau juga sering dimakan dengan durian, makanan ini bisa dijumpai dihampir seluruh Aceh.
Setelah puas menikmati suguhan kecil dipagi yang sejuk, isteri dan dua bidadariku datang menjemput dengan senyuman khas mereka apalagi sibungsu yang masih cedal dalam mengucapkan kata perkata. Sepanjang perjalanan pulang saya meminta isteri untuk dibuatkan makanan favorit yang memang telah lama saya rindukan yaitu ASAM JING IKAN DEPIK. Tanpa tedeng aling-aling istri langung membelokan stir mobilnya menuju pasar bawah Takengon untuk membeli Ikan depik ciri khas danau Laut Tawar dan ikan mujahir serta campuran pelengkap lainnya seperti kunyit, cabe, asam jantar (jeruk yang berasa seperti cuka), dedemir (jamur), Terpuk (kincung), dan bahan-bahan lainnya yang telah tersedia dipasar ini.

Akhirnya sampai juga saya diistana kecil yang telah kami tempati selama 8 tahun dalam suka dan duka. Tak berapa lama kemudian aroma masakan tersebut mulai menusuk hidung serta membangkitkan rasa lapar untuk segera menyantapnya. Dalam waktu tak lebih dari satu jam masakan tersebut telah tersedia diatas bale-bale dihidangkan didalam kuali tanah.
Ditambah dengan Cecah Agur (terong belanda) dengan rasa empan dan sedikit pedas serta sayur rebus pucuk Labu Jipang. Bahan cecah agur ini sangat mudah ditemui didaerah pegunungan terutama di dataran tinggi gayo. Cara mengolahnyapun tidak terlalu rumit, terong belanda yang sudah matang dikupas dan dihaluskan dengan ulekan dan ditambah dengan bawang merah, cabe merah, dan sedikit garam, dengan menambahkan empan dan gegarang menambah nilai plus karena rasanya seperti aroma mint yang menyegarkan nafas serta menggigit lidah bagi yang menikmatinya.

Sungguh kuliner yang diimpikan dan tak mungkin terlupakan. Makanan khas Gayo ini dapat ditemui dibeberapa restoran di kota Takengon, dengan harga sangat terjangkau dengan kantong semua kalangan. serta msih banyak makanan-makanan lain yang menawarkan cita rasa yang khas.

Wednesday 23 March 2011

Kebun Kopi Bisa Jadi Produk Pariwisata

JAKARTA, KOMPAS.com - Perkebunan kopi ternyata berhubungan erat dengan pariwisata. Kebun kopi bisa menjadi produk pariwisata. "Sebenarnya kita ada origin tour, jadi datang ke perkebunan kopi. Kita pernah kedatangan tamu dari Australia, Amerika, dan Thailand. Jadi bisa saja suatu saat kerja sama dengan Kemenbudpar untuk dikembangkan jadi produk pariwisata," kata Kepala Juri sekaligus Ketua Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, Tuti Mochtar pada acara Indonesian Barista Competition 2011 untuk final regional Jakarta di Fx Jakarta, Sabtu (19/3/2011).
Seperti yang dituturkan Executive Director Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, Ina Murwani, daerah-daerah penghasil kopi yang terkenal adalah Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Flores. Hanya saja tingkat konsumsi masyarakat Indonesia pada kopi berkualitas masih rendah. "Secara kuantitas, penjualan di Indonesia masih kalah dibanding Australia. Penjualan. per bulan di Australia sama dengan seminggu di Indonesia," kata Adi Taroepratjeka, seorang konsultan kopi sekaligus juri Indonesian Barista Competition 2011.
Ia menuturkan kopi Indonesia sebenarnya bagus. Hanya saja, orang Indonesia sering melihat kopi yang bermerek luar negeri. "Seringnya orang kita datang ke coffee shop untuk cari image bukan cari pengalaman minum kopi," kata Adi.
Ia tidak memungkiri bahwa orang Indonesia adalah peminum kopi. Namun yang biasa diminum bukap kopi murni. Misalnya kopi jagung. "Tapi kalau makan singkong bakar memang cocoknya dengan kopi jagung, rasanya nyambung," ungkap Adi.
Sayangnya peminum untuk kopi berkualitas standar internasional masih belum banyak. Petani kopi di Indonesia, lanjutnya, bisa memproduksi kopi berkualitas. Tetapi seringkali yang diutamakan petani adalah kuantitas. "Petani kita membuat kopi dari semua biji kopi. Padahal ada yang masih mentah. Kalau orang minum jadi kembung. Mereka pikirnya walaupun produksi kopi seperti itu, selalu ada yang beli. Yang berkualitas itu, biji kopi dipetik satu per satu yang sudah matang. Dalam 10 gram kopi itu terdiri dari 55 butir biji kopi," jelasnya.
Untung, beberapa daerah di Indonesia telah mampu memproduksi kopi berkualitas. "Misalnya Kopi Gayo dan kopi Mandailing dari Sumatera. Demandnya tinggi, jadi kualitas bagus. Kalau daerah lain belum stabil," ungkap Adi.
Ia juga menuturkan kopi asal Papua termasuk yang sedang tren di kalangan penikmat kopi. "Tapi minum kopi Papua kayak russian rolet. Suatu kali minum, kopinya enak. Tapi terus lain kali minum, rasanya aneh," katanya sambil tertawa.
Indonesian Barista Competition merupakan ajang perlombaan untuk barista atau orang dengan kemampuang meracik kopi. Di tahun 2011, ajang ini diadakan di lima daerah untuk mendapatkan 30 finalis. Nantinya, ajang tingkat nasional pada 6-9 April 2011 akan menentukan juara pertama sekaligus wakil dari Indonesia untuk ajang Asian Barista Competition. Acara tersebut diadakan oleh Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, yang anggotanya terdiri dari pemilik coffee shop, ahli kopi, konsultan kopi, eksportir kopi, barista, produsen kopi, sampai petani kopi.

Saturday 19 March 2011

Wow.. Beasiswa ke AS untuk Guru SMP-SMA

KOMPAS.com - Kabar gembira bagi para guru SMP atau SMA yang menjadi pengajar penuh bidang studi Bahasa Inggris, Ilmu Sosial, Kewiraan, Matematika, serta Ilmu Pengetahuan Alam. Tahun ini, The International Leaders in Education Program (ILEP) kembali menawarkan beasiswa studi ke Amerika Serikat (AS) tahun akademik 2011/2012. 
ILEP adalah program milik Biro Pendidikan dan Kebudayaan Departement Luar Negeri AS. ILEP dikelola oleh IREX (the International Research & Exchanges Board), sebuah organisasi nonprofit yang terletak di Washington DC, AS.
Melalui program beasiswa ILEP ini studi akan berlangsung selama satu semester dalam program akademik di universitas di AS, yang meliputi kuliah dan pelatihan intensif dalam bidang metodologi pengajaran, pembuatan materi pelajaran, strategi mengajar yang disesuaikan dengan tempat dan lingkungan pengajaran, kepemimpinan guru, termasuk penggunaan komputer dan internet, sertasoftware sebagai alat bantu dalam mengajar.
Program ini akan dimulai di bulan Januari 2012 - Mei 2012, yang juga akan melibatkan observasi di sekolah tingkat menengah di AS yang akan menghubungkan peserta secara aktif dengan para guru dan siswa dari AS.
Adapun skema beasiswa ini meliputi biaya orientasi sebelum keberangkatan yang diadakan di Indonesia, tiket pesawat internasional dan domestik di AS, orientasi kedatangan di Washington, DC, biaya studi program akademik, tempat tinggal (umumnya berbagi kamar dengan peserta lain dari program ini), asuransi jiwa dan kesehatan, uang saku selama program akademik di universitas, laptop, dana buku/tunjangan pengembangan profesional dan lain-lainnya.
Bagi yang berminat, pelamar adalah guru sekolah tingkat SMP atau SMA yang menjadi pengajar penuh bidang studi Bahasa Inggris, Ilmu Sosial, Kewiraan, Matematika, serta IPA. Selain itu, kandidat harus berpengalaman mengajar 5 tahun atau lebih dan memiliki kemampuan bahasa Inggris aktif dan pasif yang dibuktikan dengan melampirkan skor ITP/iBT TOEFL minimum 500 atau IELTS 5.0.
Informasi syarat pendaftaran dan formulir bisa diunduh di http://www.aminef.or.id. Batas waktu untuk mengirimkan aplikasi dan dokumen pelengkapnya ditunggu sampai 15 April 2011.

Primordialisme Pilkada

Sebentar lagi kembali Aceh Tengah serta beberapa daerah kabupaten lain yang berada di kawasan Aceh akan melaksanakan Pesta Demokrasi, pesta rakyat ini tentunya melibatkan segenap lapisan masyarakat tanpa mengenal Etnis, Bahasa, Golongan, kerabat, keluarga bahkan Kepentingan politik, artinya seorang warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih yang ditentukan oleh Undang-Undang memiliki hak untuk memberikan dan memilih calon pemimpin mereka yang akan meng-nakhodai bahtera menuju laut lepas. Tentunya seorang nakhoda yang handal, cekatan dan dapat mengatasi gelombang dan badai yang menerjang.
Kabupaten Aceh Tengah dan Besecara mayoritas memang ditempati oleh suku Gayo namun suku-suku lain juga memiliki peranan penting dalam proses pembangunan yang berlangsung di Aceh Tengah. Keberagaman etnik dan kultur yang melekat di dalam struktur kehidupan masyarakat Dataran Tinggi ini menandakan bahwa negeri seribu bukit1 mampu menjadi sebuah daerah yang madani. Unsur kebersamaan dalam memajukan daerah sepertinya sudah terbiasa dilakukan masyarakat pribumi mulai dari dahulu sampai sekarang. Artinya implementasi kekerabatan dijadikan modal dalam konsep pembangunan.
Dalam keberagaman ini, penentuan pilihan tidak akan terlepas dari keberagaman yang ada termasuk unsur primordialistik. Pertimbangan-pertimbangan keluarga, teman, suku, ras/etnis, agama, kepentingan politik, opini masyarakat/tetangga, opini tim sukses, kepentingan bisnis, kepentingan kenyamanan dan keamanan, kepentingan akan keinginan tata pemerintahan yang baik dan bersih, serta berbagai kepentingan lainnya akan mewarnai pilihan kita.
Terlepas dari hal-hal diatas, masih banyak diantara pemilih yang hanya ikut-ikutan bahkan ada sebagian lagi ragu-ragu dalam menetukan pilihan, hal ini wajar karena Gayo adalah Indonesia Kecil dimana hampir semua suku yang ada di Indonesia berbaur dengan pribumi secara harmonis dan saling menghormati.
keberagaman seperti ini adalah satu hal yang harus dipertimbangkan untuk tetap terjaga. Semua etnis dan golongan hidup berdampingan dalam perbedaan. Bahkan, perbedaan itu menjadi kekuatan untuk kemajuan bersama di tanah ini. Pluralitas harus dijaga karena berbagai kemungkinan dapat saja terjadi apabila kepentingan kelompok tertentu dalam masyarakat plural itu terganggu.

Unsur Primordialisme

Primordialisme adalah paham yang menonjolkan, mengutamakan, atau mendasarkan diri pada ikatan-ikatan, symbol-simbol keaslian suatu daerah yakni agama, suku, dan ras(2). Ikatan-ikatan ini dianggap lebih utama daripada jenis-jenis ikatan sosial yang lain. Dalam masyarakat yang ditandai oleh semangat primordialistik, kesatuan-kesatuan sosial lebih banyak didasarkan pada ciri-ciri kesamaan tersebut. Masyarakat yang primordialistik cenderung tertutup terhadap kelompok sosial lain, sehingga tampil fanatik. Orang menjadi amat peka terhadap pembedaan. Fanatisme inilah yang bisa melenyapkan diskursus dan mematikan proses demokrasi. Semangat fanatik membuat proses demokrasi kehilangan nalar, dan tidak beda dengan adu kekuatan secara membabi buta.
Terlepas dari berbagai pertimbangan kita termasuk unsur primordialisme dalam menentukan pilihan ini, kita semua ingin dipimpin oleh seorang pemimpin kuat yang mampu mengamankan dan menyamankan semua golongan. Kita membutuhkan seorang memimpin bersih yang tidak mengikat oleh unsur primordialistik sempit yang tidak memberikan rasa damai dalam keberagaman kita

Demokrasi Melindungi Hak Semua Kalangan

Perbedaan memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi. Yang satu mencukupi kebutuhannya dengan meminta dari yang lain dan sebaliknya. Dalam hubungan ini, idealnya masing-masing bertanggung jawab terhadap hidup partnernya. Sebab, kalau sampai yang satu mengancam atau melenyapkan yang lain itu, ia sendiri rugi karena kehilangan pihak yang mendukung hidupnya sendiri. Demokrasi dengan demikian adalah cara untuk bisa hidup bersama dengan tetap mempertahankan perbedaan, bukan melenyapkannya (Yermes Degei, 2009)
Hidup bersama tidak berarti kelompok mayoritas menentukan segala-galanya dalam masyarakat. Kepentingan mayoritas tidak bisa diutamakan kalau itu mengancam kehidupan kelompok minoritas. Dalam skema demokrasi, kepentingan setiap individu mengatasi kepentingan mayoritas. Artinya, struktur masyarakat demokratis harus diupayakan agar tidak satu individu pun terancam atau kehilangan hak-haknya. Demikian juga, kepentingan mayoritas tidak bisa dibenarkan kalau itu mengancam kebaikan hidup bersama (lih. Martin dalam Boucher dan Kelly (eds) 1998: 142).
Dengan demikian, demokrasi kita hendaknya tidak mengeliminasi hak-hak orang kecil dan lemah. Sebaliknya, sistem demokrasi, yang menetapkan prioritas seperti dianjurkan Martin di atas, membawa orang-orang kecil lebih dekat pada hak-hak mereka sebagai warga negara. Sejalan dengan itu, pemerintahan yang demokratis bukanlah pemerintahan yang melayani kepentingan kelompok mayoritas kalau kepentingan itu malah mengancam hak-hak rakyat minoritas.
Demokrasi bukanlah prosedur yang legitimasi sekadar untuk melenggangkan kepentingan-kepentingan kelompok mayoritas belaka! Maka demokrasi sebenarnya adalah cara bertindak dan cara diperlakukan warga masyarakat yang menjamin mereka tidak tercerai dan hak-hak sipil mereka.

Perilaku Etnis dalam Pilkada

APAKAH etnis kandidat mempengaruhi pilihan pemilih? Apakah pemilih lebih cenderung memilih kandidat atau partai yang sama dengan etnis mereka? Pertanyaan ini menjadi hal yang sangat penting dalam suksesnya pilkada dan mengantarkan kandidat menjadi orang yang menduduki kursi nomor 1. Faktor etnis adalah salah satu variabel penting yang bisa menjelaskan pilihan seseorang pada kandidat atau partai tertentu. Kesamaan ras dan etnik antara pemilih dan partai atau calon pejabat publik cenderung mempengaruhi perilaku memilih seseorang.

Arena Pilkada memberi kesempatan kepada kita untuk melihat lebih dalam kaitan antara etnis dengan perilaku pemilih. Berbeda dengan pemilihan legislative atau presiden (nasional), kandidat yang maju dalam Pilkada kemungkinan lebih banyak menggunakan isu dan sentimen etnis. Di sejumah Pilkada misalnya, kita kerap melihat munculnya isu seperti “putra daerah”, “calon pendatang”, “calon penduduk asli”, dan sebagainya.

Ada sejumlah alasan mengapa isu etnis lebih mungkin muncul dalam Pilkada dibandingkan dengan pemilihan nasional seperti Pemilu Legislatif dan presiden. Pertama, pertarungan kandidat dalam Pilkada umumnya bersifat lokal. Banyak kandidat yang maju mewakili kelompok tertentu. Ini menyebabkan kandidat yang kebetulan berasal atau didukung oleh kelompok mayoritas menggunakan isu dan sentimen etnis untuk mendapatkan dukungan dari pemilih. Kedua, isu yang diangkat dalam Pilkada umumnya bersifat lokal, seperti soal pembangunan daerah, kondisi spesifik di suatu wilayah.

Dengan semakin memanasnya suhu politik di daerah yang dihuni beragam etnis dan puluhan subetnis itu, isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) menjadi sensistif dan harus untuk dihindari bagi setiap pasangan kandidat beserta tim suksesnya, apabila pilkada ingin berjalan damai dan aman.

1. Drs. Muhammad Syukri, M.Pd. Dalam sebuah Catatan Di Face Book.
2. Tutorial oleh Prof. Francis Loh Kok Wah seorang Dosen Politik Universitas Sains Malaysia

Wednesday 16 March 2011

Falsafah "Tari Guel"


ASBABUN nuzul “Tari Guel”, bermula dari riwayat pembunuhan Bener Merie oleh Raja Linge ke-XIII. Keduanya saudara satu Ayah (Johansyah). Ibu Raja Linge ke-XIII orang Gayo asli, sementara Ibu Bener Merie adalah Putri Johor. Kronologi sejarahnya jelas, tetapi ketika alur cerita itu sampai pada bab Gajah Putih yang ditemukan sedang bersimpuh di atas pusara Bener Merie, kononnya penjelmaan dari Bener Merie, berdasarkan mimpi Sengeda (saudara kandung Bener Merie yang luput dari pembunuhan berencana ini). Mimpi Sengeda benar dan tidak perlu interpretasi. Sampai sekarang, kuburan Bener Merie masih tegak berdiri, walau pun kurang perawatan dan sejarah Gajah Putih adalah juga diakui keabsahannya. Masalahnya; kebanyakan orang Gayo sudah telanjur mempercayai, bahwa “Tari Guel” adalah wujud dari legenda: Bener Merie, Sengeda dan Gajah Putih. Kekeliruan sejarah ini perlu diluruskan.

Sebenarnya, “Tari Guel” itu adalah ‘Mesium gerak tanpa bangunan’, tempat menyimpan sejarah Gayo, agar orang tidak mudah melupakannya. Hingga sekarang, masih banyak fakta sejarah Gayo tercècèr dan disimpan dalam bentuk “kekeberen”, puisi dan pantun. Hal ini bisa dimaklumi, karena keterbatasan fasilitas pada masa itu. Imaginator menafsirkan fakta sejarah tadi ke dalam gerak “Tari Guel”. Selain daripada itu, imaginator ingin mengambarkan “aurat” orang Gayo yang tak pantang membunuh saudara sendiri, jika dirasa perlu untuk itu. Riwayat pembunuhan Bener Merie oleh saudara sedarah, bukanlah satu-satunya peristiwa dalam peradaban orang Gayo. Kisah Merah Mege (anak bungsu Muyang Mersa) membuktikan bahwa: ketika enam saudara kandungnya menunaikan niat jahat dengan mengikat dan menjatuhkan adiknya ke dalam Sumur tua dalam rimba. Dengan kuasa Allah SWT, Merah Mege selamat dan tidak jadi mati. Motif pembunuhan Merah Mege dan Bener Merie semata-mata karena khawatir kehilangan pengaruh, kuasa, irihati dan dengki. Jadi, peragaan “Tari Guel” adalah penyingkapan fakta, rahasia (aurat) orang Gayo yang sungguh memalukan, mengharukan, memilukan sekaligus peringatan.

Selebihnya, imaginator ingin menitipkan pesan-pesan kehidupan yang hanya bisa ditangkap lewat pendekatan falsafah. Artinya: salam semah dalam gerak “Munatap”, “Redep”, “Ketibung”, “Kepur Nunguk”, “Sènèng Lintah”, “Sèngkèr Kalang” dan “Cincang Nangka”, selain menyinggung aspek sejarah, juga mengandung falsafah moral, eksistensialisme, humanisme, realisme, futurisme, sekaligus menghubungkannya dengan emosional, romantika, dinamika dan problematika kehidupan orang Gayo itu sendiri. Gerak “Munatap” menggambarkan eksistensi diri dan kesadaran, di mana Gajah Putih yang enggan bergeming (bersimpuh) sadar sambil menatap realitas yang asing. Eksistensi diri dan kesadaran tadi mengkristal, setelah dirangsang oleh Sengeda dengan gerak diiringi irama, yang kemudian disebut “Tari Guel” (“Tari berirama”), agar Gajah Putih bangkit bersaksi; merubah diam menjadi aksi; memecah kebekuan jiwa agar larut dan menyatu dalam kemajmukan nilai-nilai; membangunkan kematian menjadi hidup dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Pada tahap gerak “Munatap”, yang dituntut hanya kesadaran diri, pengakuan dan pengenalan secara menyeluruh. Hal ini berhubung langsung dengan karakteristik orang Gayo, pada umumnya baru sadar dan beraksi setelah dirangsang terlebih dahulu.

Dalam gerak “Redep”, bahu dan tangan bergerak lentur dan bervariasi. Jari-jemari penari sesekali terbenam dalam lipatan “Opoh Ulen-ulen”. Tahap ini adalah proses belajar, meniru dan berpikir. Di sini, gerak dan irama yang dimainkan lebih cepat, walau tidak terlalu lama. Ini mengajarkan: berpikir dan gerak cepat jika mau dapat dan selamat. Gerak “Redep” lewat dan segera menuju ke gerak lain, yakni: gerak “Ketibung”, yang ditandai dengan hentakan kedua kaki berkali-kali secara bergantian ke bumi; mengangkat dan menurunkan atau memutar-mutar kedua tangan, dikombinasi dengan sorotan mata yang tajam. Inilah tahap pengetahuan dan pemahaman, di mana manusia berhadapan dengan dua pilihan: menginjak atau diinjak: membunuh atau dibunuh; Tuan atau budak; menguasai atau dikuasai (penguasa atau hamba). Kata: “ketibung” dalam bahasa Gayo, lazimnya dipakai bagi gadis-gadis yang mandi di kolam atau di sungai, membunyikan air dengan kedua tangannya; yang dalam tari ini diisyaratkan dengan variasi gerak tangan dan kaki, sebagai refleksi dari gelora pikiran dan luahan jiwa. Itu pula alasannya, hingga dalam sastera Gayo, gejolak hati kerap digambarkan dalam lirik: “berketibung iwanni jantung, berjunté iwanni até” (“bergejolak dalam jantung, bersemi dalam hati”).

Gerak “Kepur nunguk”, yang mengepak-ngepakkan “Opoh Ulen-ulen”, sambil berputar-putar, maju dan mundur. Gerakannya sangat agresif dan menantang. Tahap ini menggambarkan proses klarifikasi masalah, yang menuntut semua anasir atau “debu-debu” yang menodai supaya disingkirkan. Artinya: tangan siapa sih yang tidak kotor? Tangan kita telah mengotori negara, maruah bangsa, budaya dan bahasa. [Kata: “kepur” dalam bahasa Gayo berarti mengusir debu-debu (kotoran) yang melekat pada kain atau tikar dengan tangan, bukan dengan penyapu. Mengapa? Sebab tangan mempunyai konotasi kekuasaan yang bisa merubah, memperbaiki atau menjahannamkan.

Gerak “Sènèng Lintah” atau “Sèngkèr Kalang”, yang geraknya menggelepar, memiringkan tubuh bagaikan gerak burung Elang yang mau menyambar mangsa. Inilah gerak burung Elang yang terbang melayang, melingkar dan menukik dengan memiringkan badan untuk melihat dan memastikan posisi mangsa atau gerak lintah yang meliuk-liuk dalam air yang berarti: masalah mesti di lihat bukan dari satu arah saja, tetapi didekati dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Kata “Sènèng” dan “Sèngkèr” dalam bahasa Gayo bermakna: melirik atau memantau dengan gerak miring. Gerak ini menggambarkan tahap/peringkat aksi, cermat, konsentrasi dan terarah.

Gerak “Cincang Nangka” merupakan rangkaian terakhir, aksi memasukkan diri ke dalam kemajemukan. Yang berarti: makna individu larut dalam kebersamaan. Yang dituntut bukan lagi keserasian gerak, melainkan penyatuan perasaan dan emosi. Tahap ini menunjukkan bahwa apa pun masalah, mesti diselesaikan dengan mengikut sertakan orang lain.

“Tari Guel”, yang dimainkan tanpa syair oleh penari tunggal diiringi irama (menabuh) Canang dan Gong, sarat dengan nilai-nila kehidupan. Ianya, dipersembahkan dalam upacara perkawinan atau menyambut tetamu agung. Sebab inilah peluang terbaik untuk menyingkap segala-galanya, mendo’akan agar bahagia dan sejahtera, yang disimbulkan dengan menabur beras-padi dan air tepung tawar oleh Pengulu Mungkur. Persembahan tari ini kepada tamu asing, hanya sekedar ingin memperlihatkan ‘inilah Gayo’ yang suka berkata: “Yang penting iman kita mesti kuat dan menjaga adat nenek moyang” dan “Adat-istidat adalah pagarnya agama”. Jadi, “Tari Guel” boleh juga dikatakan sebagai “talqin”, agar orang Gayo terangsang, bergairah dan berani bangkit bersaksi atas nama kebenaran sejarah, jika tidak ingin mampus martabat dan maruahmu.

(catatan Oleh Yusra Habib Abdul Gani)
Director Institute for Ethnics Civilization Research.

KE GAYO, YUK


Tugu Kota Takengon yang berada dipusat kota 
Kabupaten aceh Tengah adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Ibukotanya adalah Takengon. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan dan merupakan dataran tinggi, sehingga memiliki hawa sejuk dengan sebagian besar penduduknya berasal dari suku Gayo. Aceh Tengah terkenal dengan Danau Laut Tawar-nya yang mempesona merupakan Daerah Tujuan Wisata yang memiliki banyak potensi, selain panorama dan keindahan alam, iklim yang sejuk, Aceh Tengah juga memiliki beragam adat istiadat, bahasa dan kesenian serta beberapa tempat-tempat maupun gedung-gedung bersejarah.

Keanekaragaman potensi dan kebudayaan tersebut mengundang perhatian khusus untuk tetap melestarikannya. Berbagai upaya harus tetap diusahakan demi menjaga eksistensinya dan terhindar dari faktor ketidak pedulian masyarakat, namun dari sekian banyak potensi wisata yang ada masih sedikit sekali yang dikembangkan, padahal obyek wisata tersebut membutuhkan sentuhan yang lebih intensif dan perhatian yang menyeluruh baik dari unsur pemerintah maupun kalangan masyarakat.


PROFIL ACEH TENGAH

Kedatangan kaum colonial Belanda sekitar tahun 1904, tidak terlepas dari potensi perkebunan Tanah Gayo yang sangat cocok untuk budidaya. Kopi Arabika, Tembakau dan Damar. Pada periode itu wilayahKabupaten Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Dalam masa colonial Belanda tersebut di kawasanTakengon didirikan sebuah perusahaan pengolahan Kopi dan Damar. Sejak saat itu pula kawasan Takengon mulai berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi Dataran Tinggi Gayo, khususnya Sayuran dan Kopi (Wikipedia)

Danau Laut Tawar yang memberikan perasaan ketentaraman dan kesejukan bagi mata yang memandangnya merupakan andalan pariwisata masyarakat Gayo Aceh Tengah yang berada di dataran tinggi Gayo, Takengon, sebagai kota tujuan wisata, kabupaten ini sedang berbenah untuk membangun objek wisatanya Selain Danau Laut Tawar masih banyak terdapat tempat-tempat wisata lainnya seperti Goa Puteri Pukes, Goa Loyang Koro, Pantan Terong, Pantai Menye, Taman Buru Linge Isak (berburu), Gua Loyang Koro, Loyang Pukes, Loyang Datu, Burni Klieten (hiking), Gayo Waterpark (wahana wisata keluarga), Krueng Peusangan (rafting).dan beberapa aktivitas kebudayaan tradisional seperti Pacuan Kuda tradisional dimana jokinya adalah anak-anak usia sekolah dasar dan Lomba Perahu Tradisional serta pentas-pentas kesenian. 

Buah kopi merah siap dipetik
Daerah ini juga merupakan penghasil kopi organic jenis Arabica terbaik di dunia, selain kopi aceh tengah juga penghasil buah-buahan dan sayur mayor, sebagian besar masyarakat aceh tengah berprofesi sebagai petani.

Batas Wilayah
Utara                : Bener Meriah dan Bireuen
Selatan             : Kabupaten Gayo Lues
Barat                : Aceh Barat, Pidie dan Nagan Raya
Timur              :  Aceh Timur



Namun sayang untuk bisa melihat keindahan kota ini melalui Google Earth ataupun Google Map masih belum bisa, sehingga keindahan alam tersebut seperti tersembunyi ditengah-tengah kabut yang tebal yang senantiasa menyelimuti wilayah ini.


Beberapa Potensi Objek Wisata Aceh Tengah

DANAU LAUT TAWAR
 Danau laut tawar adalah sebuah danau dan kawasannya wisata yang luasnya kira-kira 5.472 Ha dengan panjang 17 km dan lebar 3, 219 km. danau laut tawar sendiri selain sebagai sarana objek wisata juga sebagai sumber pencaharian masyarakat gayo yang berprofesi sebagai nelayan. Ikan Depik (resbora Tawarensis) adalah ikan endemic didanau ini, selain itu masih banyak juga spesis lainnya seperti Ikan Mas (Bawal: dalam bahasa setempat), mujahir, Bado dan masih banyak jenis lainnya. 



PANTAN TERONG
Pantan Terong merupakan salah satu objek wisata yang cukup menarik untuk didatangi, karena letaknya yang tinggi. Dari sana kita bisa menikmati pemandangan kota takengon yang berada dibibir danau laut tawar yang membentang luas. Pantan terong tidak memilki sejarah tetapi dibangun sebagai sarana untuk melihat kota takengon secara keseluruhan.


Pintu masuk Goa Loyang Koro

GUA LOYANG KORO
Gua Loyang koro terletak ditepian danau laut tawar adalah salah satu objek wisata yang berada tepat dibawah kaki Gunung Birah Panyang. Terdapat dua versi sejarah dari gua ini, yang pertama adalah gua ini merupakan tempat persembunyian sultan Aceh dari kejaran Belanda dan versi lain menyebutkan pernah ada pertikaian antara pengembala kambing dna kerbau yang menyebabkan runtuhnya dinding goa sehingga jalan tertutup dan tida bisa dilewati lagi.


LOYANG PUKES

GOA Putri Pukes merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Aceh Tengah. Ceritanya diriwayatkan sebagai legenda antara mitos dan fakta. Betul tidaknya legenda Putri Pukes, hingga sekarang belum ada yang bisa memastikannya. Gua Putri Pukes tempat legenda itu diceritakan, kini sudah menjadi tempat wisata, tetapi sangat di sayangkan gua tempat manusia yang menjadi batu itu sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga tidak lagi alami.
Di dalam gua Putri Pukes tersebut terdapat batu yang dipercayai adalah Putri Pukes yang telah menjadi batu, sumur besar, kendi yang sudah menjadi batu, tempat duduk untuk bertapa orang masa dahulu, alat pemotong zaman dahulu.
Abdullah, penjaga gua, Batu putri pukes tersebut membesar karena kadang-kadang batu tersebut menangis sehingga air mata yang keluar tersebut menjadi batu dan makin lama batu tersebut makin membesar. Sementara sumur besar kata Abdullah, setiap tiga bulan air di sumur tersebut kering dan tidak ada air nya, bila ada air orang pintar akan datang untuk mengambil air tersebut. Sedangkan kendi yang telah menjadi batu tersebut pernah dibawa oleh orang, tetapi dikembalikan lagi karena dilanda resah setelah mengambilnya. “Sedangkan tempat bertapa itu di gunakan oleh orang zaman dahulu untuk melakukan bertapa guna mencari ilmu dan alat pemotong (pisau) peninggalan manusia purbakala kata yang ditemukan di dalam goa putri pukes,” jelas Abdullah.
Pintu Masuk ke Lokasi Danau Laut Tawar
Gua Putri Pukes terletak di sebelah utara, tepatnya di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah Putri Pukes merupakan nama seorang gadis kesayangan dan anak satu-satunya yang berasal dari sebuah keluarga di Kampung Nosar, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Suatu hari dia, dijodohkan dengan seorang pria yang berasal dari Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat setempat. Mempelai wanita harus tinggal dan menetap di tempat mempelai pria. Setelah resepsi pernikahan di rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya kedua mempelai diantar menuju tempat tinggal pria. 
Pihak mempelai wanita diantar yang dalam bahasa gayo disebut ‘munenes’ ke rumah pihak pria ke Kampung Simpang Tiga Bener Meriah.Disinilah detik-detik terjadinya peristiwa sehingga nama Putri Pukes terkenal hingga sekarang, saat akan melepas Putri Pukes dengan iringan-iringan pengantin, ibu Putri Pukes berpesan kepada putrinya yang sudah menjadi istri sah mempelai pria. “Nak…sebelum kamu melewati daerah Pukes yaitu daerah rawa-rawa sekarang menjadi Danau Laut Tawar. Kamu jangan penah melihat ke belakang,”  kata ibu Putri Pukes. Sang putri pun berjalan sambil menangis dan menghapus air matanya yang keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih, membuat putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya tadi. Secara tak sengaja putri menoleh ke belakang, dengan tiba-tiba putri pukes langsung berubah menjadi batu seperti yang sekarang kita jumpai di dalam Gua Putri Pukes. Apakah itu hanya mitos atau memang benar-benar terjadi, tetapi warga setempat percaya kalau cerita Putri Pukes itu benar ada.

UMAH EDET PITU RUANG



Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) bahasa Gayo,  adalah peninggalan raje  Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin sudah berdiri sejak pra-kemerdekaan. Rumah adat itu adalah bukti sejarah orang Gayo yang masih ada, Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar  tepatnya di Kampung Toweren, Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah siapa saja boleh melihatnya, benar-benar asli peninggalan yang telah direplika dari bentuk aslinya yaitu Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon.
Rumah adat Umah Pitu Ruang Toweren dibuat dari kayu pilihan. Diameter tiang penyangganya pun seukuran dekapan dewasa. Tidak diketahui tahun berapa rumah itu dibangun, tetapi menurut cerita, bangunannya sudah berdiri sebelum kolonial Belanda masuk ke Dataran Tinggi Gayo. Umah Edet Pitu Ruang Gayo tersebut tidak mengunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu  dan  bermacam-macam ukiran di setiap kayu. Ukiran tersebut bentuk nya berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan ada yang berbetuk seni kerawang Gayo yang di pahat khusus.
Luas Umah Edet Pitu Ruang itu, panjangnya 9 meter dengan lebar 12 meter. Berbentuk rumah panggung dengan lima anak tangga, menghadap utara. 
Sementara di dalamnya terdapat empat buah kamar. Selain empat kamar, ada dua lepo atau ruang bebas di arah timur dan barat. Semua sambungan memakai ciri khas tersendiri menggunakan pasak kayu. Hampir semua bagian sisi dipakai ukiran kerawang yang dipahat, dengan berbagai motif, seperti puter tali dan sebagainya. Di tengah ukiran kerawang terdapat ukiran berbentuk ayam dan ikan yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Sementara ukiran naga merupakan lambang kekuatan, kekuasaan dan kharisma. Peninggalan Raja Baluntara, bukan hanya bangunan tua yang bertengger usang di Kampung Toweren Uken, tetapi aset bersejarah lain masih tersimpan rapi oleh pihak keluarga seperti Bawar.
WISATA AIR TERJUN MENGAYA
Wisata Air Terjun Mengaya ini Terletak di Desa Mengaya, Kec.Bintang. Kabupaten Aceh tengah berdekatan dengan obyek wisata Danau Lut Tawar. Melalui jalan setapak yang sudah beraspal, pengunjung bisa menikmati panorama hutan yang asri dan udara yang sejuk di sepanjang jalan menuju lokasi air terjun ini.




KESENIAN DIDONG DAN LAINNYA









Didong merupakan salah satu kesenian asli yang berasal dari daerah dataran tinggi ini. Sekelompok orang duduk bersila membentuk  ingkaran. Salah seorang ceh akan mendendangkan syair-syair dalam Bahasa Gayo dan anggota yang lain akan mengiringi dengan tepukan tangan dan tepukan bantal kecil dengan ritme yang harmonis.









Sunday 13 March 2011

Islamikah Budaya Gayo?



Yusra Habib Abdul Gani*
Sejak pemerintahan Genali (Raja Linge 1) yang berpusat di Buntul Linge, Islam sudah bertapak di tanah Gayo. Acara penyumpahan oleh qadhi malikul ’Adil kepada semua aparat kerajaan di lingkungan kerajaan Linge dilaksanakan mengikut tatacara Islam, budaya menuntut ilmu –menyekolahkan Johansyah (anak sulung raja Linge) ke Dayah Cot Kala, Peureulak dibawah asuhan Sjèh Abdullah Kan’an– dan upacara pengkhitanan menurut syariah Islam sudah diamalkan pada ketika itu. Semenjak itu pula istilah ”Sunet Rasul” yang berarti ”khitanan” sudah dikenal, sehingga dalam masyarakat gayo dianggap lumrah jika orang bertanya: ”Nge ke sunet rasul ko Win” (”Sudahkah kamu dikhitan”). Bahkan kerajaan Linge pada ketika itu sudah memiliki bendera (bahasa Gayo: Elem) yang ditengah-tengahnya bertulis ’Dua Kalimah Syahadah’ dan di masing-masing sudut terdapat nama empat sahabat Rasulullah. Ini diantara fakta yang membuktikan bahwa peradaban Islam ketika itu sudah wujud. Bahkan, atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan ikatan persaudaran Islam; Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak (pelarian politik asal Peureulak lebih kurang 300 jiwa) untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq, yang kemudian bernama Kerajaan Malik Ishaq, berdiri puluhan tahun sebelum Kerajaan Pasè di bawah pimpinan Malikus Salèh yang berasal dari keturunan Datok Mersa dari tanah Gayo. Malik Ishaq diperintahkan abangnya (Raja Peureulak) untuk menyingkir ke daerah pedalaman, dengan maksud mempersiapkan bahan logistik untuk menghadapi serangan serdadu Sriwijaya ke atas Kerajaan Peureulak. 
Islam mengajarkan bahwa salah satu kebajikan adalah menyantuni musafir yang memerlukan pertolongan (Surah Al-Baqarah, ayat 177). Rasa pri-kemanusiaan dan solidaritas inilah dituangkan dalam falsafah gayo: ’setie maté, gemasih papa, ratip sara nanguk, nyawa sara peluk’ (’Setia sampai mati, kasih hingga papa, ratip satu angguk, nyawa satu peluk’) dan kesetiaan orang Gayo terlukis dari pepatah ini: ’Patal terlis tauhi uren, aku gere rejen bertudung tetemi, bier murensé tubuh ôrôm beden, aku gere rejen berubah janyi’ (’Pematang sawah diguyur hujan, aku tak rela bertudung kayu jerami, walau hancur tubuh-badan, aku takkan mau berubah janji’) Dalam pergeseran nilai-nilai sosial, ini mesti diuji kembali.
Pengaruh Islam dalam budaya gayo terjadi melalu proses peng-gayo-an beberapa kata Arab. Misalnya saja kata: ’Waaassaluuualéééééééé’! Dalam masyarakat gayo, ucapan ini dikomandangkan secara serentak dengan suara mayor oleh sekumpulan orang ketika hendak meletakkan tiang utama Masjid, Mushalla, jembatan kayu, tiang rumah atau ketika menarik bakal perahu dari hutan ke tepi Danau Laut Tawar. Tanpa disadari, ucapan ini sebenarnya berasal dari kata: ’Wassalamu’alaik’ yang berarti selamat sejahtera. Demikian pula ucapan “Assalamu’alaikum”, ternyata berasal dari bahasa Arab. Umat muslim dianjurkan: “Ucapkan: ‘salamu’alaikum’” sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-An’am, ayat 54.
Selain itu, didapati prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang ditransformasi dari bahasa al-Qur’an kedalam bahasa Gayo dalam bentuk pepatah dan sastera. Hal ini ada kaitannya dengan strategi dakwah yang dilancarkan oleh para Ulama sewaktu menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Gayo. Maksudnya, agar orang Gayo tidak shock dan terkejut menerima nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang datang dari luar, sehingga para pendakwah terpaksa mencari formula atau melakukan pendekatan kultural untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam jantung hati orang gayo.
Untuk melihat dari dekat, dapat dibuktikan dari munculnya istilah ’Sumang’, yang dalam takaran adat-istiadat dan pandangan umum menunjuk kepada pengertian bahwa: suatu prilaku dinilai kurang sopan dan kurang beradab bila dilakukan di depan umum maupun di tempat sunyi sekalipun. ’Sumang’ adalah standard moral yang menekankan supaya orang tidak melakukan perbuatan semena-mena –yang melanggar ajaran agama, etika sosial dan moral– dalam masyarakat. Misalnya: sepasang muda-mudi yang bukan muhrim bergandéng tangan atau berciuman di depan khalayak ramai. Ini dinilai suatu penyimpangan terhadap nilai-nilai Islam. Ini berkaitan dengan aba-aba yang berbunyi: ”Kendalikan pandanganmu, pelihara kemaluan (aurat) mu dan pandanganmu jangan culas (berkhianat)” (Q: An-Nur, ayat 30 dan Q: Al-Mukmin, ayat 19). Aba-aba ini di-adat gayo-kan dengan sebutan: ’Sumang penèngonen’. Intinya ialah: jangan sampai pandangan membayangkan hal-hal negatif. Itu sebabnya gadis remaja Gayo zaman dulu selalu menutup aurat ketika hendak keluar rumah, menghindari dari perkara-perkara yang bisa merangsang nafsu birahi kaum lelaki. Ini sejiwa dengan anjuran Allah: ”… janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya…” (Surah An-Nur, ayat 31) dan ”orang-orang yang menjaga kemaluannya” (Surah Al-Mukminun, ayat 5), yang diklasifikasikan Al-Qur’an sebagai orang yang menang.
Akan halnya dengan sikap angkuh dan sombong, menampilkan diri dengan pakaian dan perhiasan yang berlebihan. Inilah yang dinamakan ’Sumang perupuhen’ (pakaian). Dari itu, ’Sumang’ juga simbol hukum yang di dalamnya mengandung unsur ’preventif’ terhadap tindakan yang dinilai bisa merusakkan nilai-nilai Islam. Dalam konteks ini, ’Sumang’ adalah kata lain dari perintah Allah: ”Janganlah mendekati zina.”
Seterusnya, prilaku yang memperlihatkan dirinya sebagai orang paling cantik dan gagah yang berlebihan dan merendahkan pribadi orang lain. Hal seperti ini dilarang, sebab al-Qur’an menyatakan: ”Jangan kamu memalingkan muka karena sombong dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh…” (Surah Luqman, ayat 18). Anjuran ini ditransformasi ke dalam adat gayo menjadi sebutan ’Sumang pelangkahen’. Demikian pula dengan prilaku melècèhkan pendapat orang lain, menganggap dirinya-lah yang paling benar dan hebat. Ajaran Islam menekankan supaya orang hidup di atas dunia tidak congkak. Allah mengingatkan: ”… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Surah Luqman, ayat 18), yang dalam masyarakat Gayo disebut ’Sumang peceraken’.
Demikian juga, Islam mengajarkan supaya orang berkata sopan, tidak menyakiti perasaan orang lain, menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Allah berfirman: ”Jangan teriak. Berbicaralah sopan dengan melembutkan suaramu” (Surah Lukman, ayat 19). Prinsip-prinsip moral ini untuk selanjutnya dijabarkan secara puitis dalam Didong Musara Bintang dengan judul: ”Mongot” (”Menangis”) yang sekerat liriknya berbunyi: ’Manis berperi gelah lagu madu, sejuk natému lagu bengi ni nami. Berperi berabun, bertungket langkahmu, kusihpé beluhmu berbudi pekerti.’ (’Bertutur manis bagai madu, hatimu sejuk bagai embun pagi. Sopan bicara dan pakai kompas saat melangkah dan berbudi perkerti kemanapun pergi’.)
Nilai-nilai kejujuran dan keikhlasan juga dijunjung tinggi dalam ajaran Islam, seperti: ’Katakan dengan mulutmu, seperti yang terlukis di hatimu.’ (Ali ‘Imran, ayat 167) dan ’Bersikap rendah hati dan ucapkan keselamatan kepada siapa yang menegurmu’ (a-Furqan, ayat 63). Ini sejalan dengan sastera Gayo yang mengungkapkan: ’ Tingkah serakah seriet bersebu, aku becerak ari putih naténgku.’ (’Saya berkata dari relung hati yang putih’) Akan halnya dengan rasa kesetia-kawanan dan persaudaraan antara sesama manusia merupakan sisi yang tidak kurang pentingnya. Dalam konteks ini dinyatakan: ”… Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai…” (Surah Ali-Imran, ayat 103). Prinsip sosial kemasyarakatan ini, dituangkan oleh pakar adat ke dalam bentuk pepatah Gayo yang berbunyi: ’Rempak lagu ré, mususun lagu belo. Beluh sara loloten, mèwèn sara tamunen ’ (’sejajar seperti sisir, bersusun bagai daun sirih, pergi satu arah haluan, tinggal satu kumpulan’).
Untuk membangun suatu masyarakat madani, maka ikatan kebersamaan tadi akan semakin kokoh, sekiranya individu-individu menghormati etika, ketentuan hukum dan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (Surah Al-Maidah, ayat 8). Seterusnya: ”… Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak dan kaum kerabatmu…” (Surah An-Nisa’, ayat 135). Hal ini disenyawakan ke dalam pepatah dan falsafah Gayo tentang keadilan: ’Edet enti pipet atur enti bele, pantiken genuku.’ (’Adat tidak boleh kaku (rigit), aturan tidak boleh pilih kasih, tegakkan keadilan’).
Akhirnya, pembuktian di atas didasarkan pada kajian ilmiah dengan menyertakan refersensi utama –alQur’an, falsafah, pepatah dan seni sastera gayo– dan berusaha me-minimal-kan interpretasi, apalagi unsur-unsur yang dianggap tidak valid dan tidak relevan. Memandangkan keabsahan fakta mengenai hubungan dan pengaruh nilai-nilai Islam dalam peradaban orang gayo yang universal ini, diharapkan orang gayo terangsang rasa ke-gayoan-nya kembali dalam makna yang positif dan bergairah merekonstruksi ke dalam kehidupan sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama oleh penyelenggara negara. Ini memerlukan komitmen untuk menerapkan nilai-nilai qur’ani yang mengacu kepada format hukum dan nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari al-Qur’an dan men-senyawa-kan dengan budaya kita. Tangan kita masih kotor, mengotori nilai-nilai Islam dan budaya. Oleh sebab itu ”…jangan kamu mengatakan dirimu suci…” (Surah- An-Najm, ayat 32). Wallahu’aklam bissawab!

*Director Institute for ethnics Civilization research, Denmark

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons